Setiap tiba bulan Oktober, Gereja Katolik memasuki bulan Rosario.
Bulan Oktober adalah bulan doa. Kita, putra dan putri Gereja
bersama-sama diajak untuk “mengkontemplasikan wajah Kristus bersama
Maria – (Beato Yohanes Paulus II)” tiap kali kita berdoa Rosario. Ada
empat rangkaian peristiwa yang dapat kita doakan setiap kali mendaras
Rosario Suci, peristiwa Gembira, peristiwa Sedih, peristiwa Terang, dan
peristiwa Mulia.
Dalam peristiwa Gembira yang kedua, kita diajak untuk ikut menyusuri
langkah Maria saat ia mengunjungi saudarinya, Elisabet. Tanggal 31 Mei,
hari terakhir dalam bulan yang dikhususkan bagi Maria juga mengajak kita
mengenangkan kunjungan Maria ke saudarinya, Elisabet. Inilah anamnese
(pengenangan) kita terhadap karya Allah dalam diri Maria dan Elisabet
yang menjadi kesatuan tak terpisahkan dalam Rancangan Agung keselamatan
dalam diri Yesus Kristus.
Dalam kisah Kitab Suci itu, diungkapkan perjumpaan yang agung dan
menggembirakan antara Maria yang sedang mengandung Yesus dan Elisabet
yang sedang mengandung Yohanes Pembaptis (Luk 1:39-56). Sr. Martha
Driscoll, OCSO mengajak kita untuk melihat sebuah meta-kisah, kisah di
balik kisah perjumpaan dua perempuan kudus tersebut. Maria dan Elisabet
bertemu dalam sebuah perjumpaan yang merupakan sebuah kesatuan. Kesatuan
itu timbul sebagai akibat dari persamaan-persamaan yang mereka miliki.
Beberapa persamaan yang jelas tampak adalah: mereka berdua perempuan
suci dan menjadi ibu yang sedang mengandung akibat rencana Tuhan untuk
menyelamatkan manusia. Kedua perempuan itu bersaudara, Elisabet yang
jauh lebih tua daripada Maria adalah bibi dari Maria. Keduanya adalah
orang Yahudi yang taat beribadah. Dalam kisah tradisi yang ada di ritus
Timur, diceritakan bahwa kedua orangtua Maria, St. Yoakim dan St. Anna,
telah mempersembahkan Maria untuk menjadi gadis penenun selubung Bait
Allah sejak Maria masih sangat muda belia. Sebagai seorang gadis penenun
selubung, Maria selalu dijaga ketat dan harus selalu bersikap suci
murni seperti yang telah ditetapkan dalam Taurat Musa. Sedangkan
Elisabet adalah keturunan dari Harun (Luk 1:5), di mana Harun dan
keturunannya telah ditetapkan untuk menjadi imam dan pelayan Bait Allah
yang suci (Im 8:1-33). Elisabet sendiri menikah dengan Zakharia yang
merupakan seorang imam. Sebagai pasangan, mereka “benar di hadapan Allah
dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak
bercacat (Luk 1:6)”.
Namun dalam pertemuan yang menyatukan itu, juga tampak jelas
perbedaan-perbedaan antara Maria dan Elisabet. Mari kita renungkan
kondisi dan situasi yang telah dialami oleh Maria saat ia mengunjungi
Elisabet.
Sejak Maria mengucapkan “ya” kepada sabda Tuhan yang disampaikan
malaikat Gabriel (Luk 1:38), Maria telah menandatangani “kontrak kosong”
dalam perjanjian dengan Tuhan. Ia mempercayakan diri sepenuhnya pada
Tuhan. Itulah sebabnya ia tidak gentar pada saat ia mengandung Putera
Allah. Semasa Maria hidup, adalah suatu aib besar apabila seorang gadis
mengandung di luar nikah. Terlebih Maria, yang dalam tradisi Timur
disebut sebagai perawan suci penenun selubung Bait Suci. Hamil di luar
nikah adalah nista besar!
Terlebih Maria sudah mempunyai tunangan.
Pastilah banyak orang yang menggunjingkan Maria sebagai perempuan nakal
yang suka berselingkuh. Namun Maria tidak gentar! Saya teringat sebuah
penggambaran indah sukacita dan penyerahan Maria yang begitu luar biasa
dalam novel indah “Christ the Lord: Out of Egypt” yang ditulis
oleh Anne Rice. Dalam novel itu digambarkan bahwa setelah dikunjungi
malaikat Gabriel, Maria segera berlari keluar ke jalanan dan
berseru-seru gembira pada semua orang yang ia temui di jalan bahwa
rencana Tuhan telah ditetapkan melalui dirinya. Maria tidak malu, tidak
takut akan rencana Allah itu. Ia percaya dan pasrah pada Tuhan.
Kegembiraan Maria tidak ditutup-tutupi. Ia segera bergegas pula untuk
membagi kegembiraan atas kabar luar biasa yang telah diterimanya kepada
saudarinya Elisabet. Maria yang sedang mengandung dengan penuh semangat
dan gembira “langsung berjalan” melewati pegunungan menuju Yehuda untuk
bertemu dengan Elisabet. Dalam tiap langkah Maria, ia dikuatkan oleh
Roh Kudus yang memberi tenaga kepadanya untuk berlari melintas
pegunungan walau ia sedang mengandung. Maria dikandung tanpa dosa untuk
menyiapkan dirinya menjadi ibu Tuhan, Tabernakel Perdana yang Hidup.
Dalam keadaan tanpa dosa itu, ia melangkah dengan ringan dan bebas. Tiap
langkahnya sepenuhnya dipercayakan dalam rencana keselamatan Tuhan yang
luar biasa. Tidak ada langkah keraguan dan kecemasan dalam perjalanan
Maria sampai pada saat Putranya digantung di salib. Dalam peristiwa
Rosario berikutnya, kita tidak akan pernah menemukan Maria yang
mengeluh, Maria yang protes atas rencana Allah. Bahkan saat Putra yang
dikandungnya disiksa sampai mati di salib, kita tidak mendengar protes
dari Maria. Kepasrahan dan kepercayaan Maria pada Tuhan sungguh tak
terukur.
Perbedaan Elisabet dengan Maria mulai tampak pada tahap perjumpaan
ini. Sebelum Maria tiba, kita lebih mirip Elisabet yang bahagia tetapi
juga cemas. Kita juga mirip dengan Zakharia, suami Elisabet yang juga
merasa ragu dan cemas. Kecemasan pasutri Zakharia dan Elisabet kalau
kita lihat lebih jauh ternyata sangat mirip dengan kecemasan kita
sendiri.
Elisabet dikatakan mandul akibat pada usia tuanya belum punya anak
(Luk 1:7). Pada zaman itu, seorang wanita yang mandul dianggap terkena
hukuman Tuhan akibat dosanya. Terlebih lagi Elisabet adalah keturunan
Harun dan istri seorang imam Allah. Kedudukan pasangan Zakharia dan
Elisabet dalam masyarakat berada di tempat terhormat. Hal ini membuat
Elisabet lebih terbebani dengan pandangan sosial masyarakatnya karena ia
dianggap mandul karena berdosa. Mungkin di hadapan Elisabet,
masyarakatnya bersikap hormat. Namun, ia tidak dapat lepas dari
gunjingan di belakang yang menjatuhkan dia sebagai istri imam yang
ternyata hanyalah perempuan mandul yang berdosa.
Mungkin beban sosial dari masyarakat itulah yang membuat suami
Elisabet, Zakharia, mengalami keragu-raguan pada saat mendapat kabar
dari malaikat Gabriel bahwa istrinya akan mengandung pada usia tua. Ia
menunjukkan sikap ragu-ragu, tidak percaya terhadap Sabda Allah sendiri.
Sebagai seorang imam, ia justru tidak percaya terhadap rencana Allah
yang ia layani tiap hari di Bait Suci. Akibatnya, ia menjadi bisu sampai
istrinya melahirkan putra (lihat Luk 1: 5-24, 57-64).
Elisabet juga merasa gembira, namun cemas dan takut pada kondisinya
yang hamil di usia lanjut (lihat Luk 1:24-25). Kegembiraannya jelas
bersumber pada fakta bahwa ternyata ia tidak mandul. Ia tidak terbukti
menanggung aib mandul karena dosa seperti yang selama ini dituduhkan
kepadanya. Ia bisa hamil. Ia berfungsi secara penuh sebagai perempuan
yang akan menjadi seorang ibu. Namun, ia juga cemas.
Kecemasannya
diungkapkan dalam kenyataan bahwa dia tidak berkata apa-apa selama lima
bulan, menyembunyikan diri supaya orang tidak melihat keadaan hamilnya.
Ia cemas dengan pikiran-pikiran negatif, jangan-jangan ia tidak mampu
membawa anaknya sampai lahir, jangan-jangan ia nanti keguguran akibat
hamil di usia tua. Kecemasan dan kekhawatiran menutupi pikiran Elisabet
selama lima bulan yang berat saat ia menyembunyikan diri. Dia tahu bahwa
anak itu adalah rahmat dari Tuhan tetapi dia sedang prihatin tentang
pikiran orang, daripada mengarahkan diri kepada misteri yang ada dalam
rencana Tuhan terhadap anaknya. Dia hanya cemas memikirkan untuk
menghilangkan aib mandul yang selama ini menjadi bebannya. Elisabet
dibayangi rasa egoisme yang mengaburkan misteri Tuhan. Kecemasan selalu
berakar dalam keprihatinan dengan ‘aku’. Sungguh hal yang kontras dengan
Maria yang hidup dalam kebebasan kepercayaan yang tidak memikirkan diri
sendiri.
Dalam kondisi yang serupa namun sekaligus berbeda, Maria berjumpa
dengan Elisabet. Waktu Maria tiba, Elisabet yang cemas pada akhirnya
bisa masuk dalam kegembiraan Maria. Bersama Yohanes Pembaptis yang
melonjak dalam kandungannya, Elisabet dipenuhi oleh Roh Kudus (Luk
1:41). Dengan penuh oleh Roh Kudus, Elisabet berkata, “Diberkatilah
engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah
aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya,
ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku
melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa
yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana (Luk 1:42-45)”.
Di hadapan Maria, iman Elisabet dikuatkan. Di hadapan Maria, Elisabet
diberi rahmat pengenalan iman sehingga dapat segera mengenali kehadiran
Putera Allah dalam kandungan Maria. Di hadapan Maria, Elisabet diberi
kerendahan hati. Di hadapan Maria, Elisabet menanggalkan sikap egois dan
khawatir atas aibnya dengan melangkah masuk lebih dalam dalam misteri
penyelamatan Tuhan yang melibatkan dirinya dan anak dalam kandungannya.
Iman Zakharia pun kembali dikuatkan dengan kehadiran Maria dalam
rumahnya. Selama tiga bulan, Maria tinggal di rumah Zakharia dan
menguatkan Zakharia dan Elisabet dalam Roh Kudus.
Kehadiran Maria yang menguatkan dan menghapus kekhawatiran tidak
dapat lepas dari sikap Maria yang bebas dan transparan. Maria mempunyai
semangat kesaksian yang tidak malu mengakui karya Allah di dalam diri
kita. Dalam lagunya Magnificat (Luk 1: 46-55), Maria
menunjukkan pada Elisabet dan pada segala bangsa bahwa ia mau supaya
orang lain melihat karya Allah, kasih istimewa yang dianugerahkan-Nya
kepada dirinya. Kasih dan rahmat Allah tidak disembunyikan di bawah
kolong rumah ataupun di bawah gantang, melainkan ditunjukkan di atas
kaki dian supaya semua orang dapat melihat cahayanya (Luk 11:33).
Sungguh berbahagialah Elisabet dan Zakharia yang dikunjungi oleh seorang
perempuan yang teramat suci seperti Maria, terlebih lagi selama tiga
bulan Maria tinggal bersama mereka! Cahaya Kristus yang terpancar dari
rahim Maria menyinari mereka dan menguatkan mereka sehingga mereka tidak
merasa kuatir lagi.
Kita mendambakan kepercayaan seperti Maria, namun kita lebih sering
mirip dengan imam Zakharia dan Elisabet. Dalam bidang yang kita tekuni,
dalam kehidupan keluarga dan komunitas yang kita jalani tiap hari,
sering kita membentur masalah-masalah yang sepertinya mustahil untuk
kita hadapi, terlebih untuk diselesaikan. Penugasan di tempat kerja yang
sulit, keluarga atau sahabat yang sakit parah, pertengkaran
suami-istri, terlibat utang yang besar, pengucilan akibat kesalahan yang
pernah kita lakukan, penindasan dari pemerintah yang korup, kekerasan
terhadap anak, hamil di luar nikah, berbagai hal dapat membawa kita
dalam sikap menyerah dan tidak percaya pada rencana Tuhan yang indah.
Banyak masalah dapat menyebabkan kita menjadi malu dan menyembunyikan
diri seperti Elisabet. Kita mengucilkan diri, tidak mau bercerita kepada
siapapun. Lidah kita kelu seperti Zakharia. Kita kehilangan kepercayaan
kepada Tuhan. Kita bertanya dengan pilu, “Berapa lama lagi, Tuhan,
Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu
terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam
diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? (Mzm 13:2-3)”
Sr. Martha Driscoll, OCSO menggambarkan kecemasan kita dalam
perumpamaan orang yang berjalan pincang. Kita berjalan seperti orang
pincang – satu langkah percaya, satu langkah cemas. Itulah handicap kita,
cacat kita. Sepuluh langkah cemas, satu langkah percaya. Syukur ada
Bunda Maria yang selalu mendampingi langkah kita. Kita dapat bersandar
kepadanya dan melangkah dalam kepercayaannya sebentar, sebelum kaki kita
yang cemas membuat kita goncang lagi. Dia selalu di samping kita agar
kita tidak jatuh dalam kecemasan total yang berujung pada keputusasaan.
Dalam Rosario, kita mendapat kelegaan karena dapat bersandar pada
langkah Maria yang percaya. Tiap butir rosario yang kita daraskan, kita
diajak melangkah bersama Maria. Kita dapat berharap adanya pencurahan
Roh Kudus dalam perjumpaan dengan Maria dalam Rosario. Kita ingin
seperti Elisabet yang dikuatkan Roh Kudus dalam perjumpaannya dengan
Maria. Kita berharap dengan pemenuhan Roh Kudus, iman kita dikuatkan dan
kita diajak belajar untuk menanggalkan sikap egois dan menjadi rendah
hati seperti Elisabet. Tiap doa Salam Maria yang kita daraskan, kita
menempati posisi Elisabet dengan mengatakan “Terpujilah engkau di antara
wanita, dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus”. Setelah mengucapkan doa
Kemuliaan dan Doa Fatima (Ya Yesus yang baik), kita dapat menyisipkan
doa yang diajarkan oleh Romo Steffano Gobbi (pencetus Gerakan Imam
Maria) dalam semangat penampakan Bunda Maria di Medjugorje: “Datanglah
ya Roh Kudus. Datanglah dengan kekuatan perantaraan Hati Maria yang Tak
Bernoda, Mempelai-Mu yang terkasih. Bunda Maria, aku mengasihimu.
Lindungilah kami, selamatkanlah kami, selamatkanlah dunia.”
Sama seperti Elisabet dan Zakharia menerima Maria di rumah mereka
selama tiga bulan, dalam bulan Maria dan bulan Rosario (Mei dan
Oktober), kita menerima Maria dalam rumah dan hati kita. Dalam
bulan-bulan ini, kita mendaraskan rosario dengan lebih khusyuk dan
mendalam. Dalam bulan-bulan ini, kita berharap dapat menimba kekuatan
dari Roh Kudus untuk menghadapi permasalahan hidup sepanjang tahun.
Dalam bulan-bulan ini, kita belajar untuk percaya seperti Maria. Dalam
bulan-bulan ini, kita belajar untuk bersaksi tentang kebesaran Tuhan
tanpa menonjolkan ego kita.
Terlebih dalam bulan Rosario, kita mendalami arti rosario. Sr. Martha
Driscoll menggambarkan rosario dengan indah. Rosario adalah rantai,
rantai yang lembut yang mengaitkan kita dengan Allah, Bapa kita, dan
dengan orang lain, saudara-saudari kita dalam Kristus. Dalam semangat
persaudaraan yang dikaitkan oleh rantai Rosario, kita diajak menjadi
rasul Rosario bagi sesama, sama seperti Maria yang menjadi rasul terang
bagi Elisabet dan Zakharia.
Rantai keputeraan dan persaudaraan menuju kepada sebuah salib karena
Kristuslah yang membuka jalan keselamatan kepada kita. Jalan itu
memiliki sebuah pintu gerbang, yaitu Maria. Kristus sendiri masuk ke
dalam dunia melalui Maria. Di dalam rahim Maria, ada keabadian yang
merangkul semua pengalaman manusia. Maria mendampingi kita yang berjalan
seperti orang pincang sepanjang perjalanan keselamatan. Meskipun
pincang, mari kita maju berjalan bersama Maria dalam kepercayaan yang
cemas dan kecemasan yang percaya.*
Diambil dari http://mantancakrabyuha.wordpress.com/2012/01/04/perjumpaan-yang-menguatkan-dan-menyelamatkan/