Sabtu, 27 Juli 2013

Renungan Minggu 27 Juli 2013: Manusia Tak Diselamatkan oleh Rumusan

Minggu Biasa XVII; Kej 18:20-33; Mzm 138; Kol 2:12-14; Luk 11:1-13

Dewasa ini, umat beriman berjuang membangun ketahanan dan keamanan hidup. Dalam perhitungan manusiawi, perjuangan ini kerap menemui jalan buntu. Di situlah manusia berupaya membangun relasi dengan yang dapat memberikan jalan keluar. Mereka sering bertindak di luar kewajaran dan kewarasan, asalkan kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Manusia mencari peluang rasa aman dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, baik rohani maupun jasmani.

Maka, umat beriman diajak berdoa. Kini, muncul banyak kelompok “persekutuan doa”. Demi memenuhi rasa senang, orang berbondong-bondong menghadirinya, karena ingin mengalami sesuatu di luar pengalaman biasa: doa kesembuhan, keberhasilan, perjodohan, karismatik, doa hujan dan panas, kerahiman ilahi, novena, dll. Semua itu menunjukkan “kekurangan” manusiawi dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar, utamanya yang bercorak kodrati. Itulah usaha memelihara anugerah kehidupan.

Kita hargai gerakan persekutuan doa. Harapannya, umat tak terpenjara dalam dirinya, tapi menemukan kerinduannya relasi sejatinya dengan Allah, sumber hidup. Pertanyaannya, apakah doa kita terpusat pada kepentingan diri atau pada hasrat membangun relasi dengan Allah?

Dalam Lukas 11:1-13, para murid melihat Yesus tenggelam dalam dialog mendalam, mesra dan berkanjang dengan Allah. Mereka tak berani bertanya tentang rahasia doa-Nya. Yesus membangkitkan kebutuhan dalam diri mereka untuk menyesuaikan doa mereka dengan doa-Nya. Mereka minta, Yesus mengajarinya berdoa. Yesus pun menegaskan: Bila kamu berdoa, katakan “Bapa”. Tempatkanlah dirimu dalam hubungan seorang anak dengan Allah yang adalah Bapa (cf. Yoh 20:17, Ef 4:6).

Doa Kristiani ialah berdoa seperti Kristus dan dalam Dia, karena Dia, “yang sulung dari banyak saudara” (Rom 8:29); kita bersekutu dalam doa-Nya pada Bapa. Yesus ingin memasukkan para murid, dan juga kita, dalam hubungan dialogis dengan Bapa.

Doa Yesus mengambil dua gerakan yang terungkap dalam dua permintaan: “dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu”. Keduanya menunjukkan Allahlah pelakunya. Allah yang “menguduskan nama-Nya” (cf. Yeh 36:23), dengan mewahyukan kepenuhan jati diri-Nya yang kudus. Yesus berdoa agar Allah menghadirkan kepenuhan kerajaan-Nya. Penyerahan diri dan kemampuan menerima keselamatan sebagai pemberian Allah yang murah hati menjadi hal utama dalam doa Yesus dan doa Kristiani.

Menurut Lukas, doa Yesus, “Bapa Kami”, terdapat tiga permohonan kebutuhan dari murid. Pertama, roti yang cukup dan tak berlebihan. Roti yang tidak mencobai kita untuk menimbun banyak, tidak menghalangi peziarahan kemuridan kita. Kedua, ampunan; hanya dengan mengampuni, kita menerima ampunan; hanya kesadaran sebagai pendosa yang diampuni, menjadikan kita pantas melakukan karya rekonsiliasi nyata. Ketiga, kebebasan dari bahaya tak setia, yang mengungkapkan kepekaan nurani kita, selalu peka dan awas akan bahaya. Hal itu juga dialami Yesus di Getzemani, yang mendorong para murid berdoa, “Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan” (Luk 22:46).

Yesus menjelaskan pengajaran-Nya dengan dua perumpamaan: relasi dua sahabat dan bapa-anak. Hal ini memberi pedoman para murid akan Bapa yang murah hati dengan kasih tak terbatas dan selalu menerima doa mereka. Simpulnya ialah janji pemberian Roh Kudus, yang memampukan kita setia dan menyapa Allah sebagai Abba, ambil bagian sebagai anak Allah seperti Yesus.

Rumusan “Bapa Kami” yang diajarkan Yesus ialah model dasar doa Kristiani. Kita mendoakannya dengan kesadaran penuh sebagai anak yang memasrahkan hidup pada penyelenggaraan Bapa. Doa kita akan terwujud sesuai pengajaran Yesus, sejauh hidup kita mengikuti bimbingan Roh Kudus. Demikianlah doa “Bapa Kami” tak hanya rumusan beku yang didaraskan berulang-ulang, tapi suatu program, kesadaran, kemesraan, kegembiraan hidup iman kita, dalam relasi dengan Allah.

Dengan meneladan cara Kristus berdoa dan berdoa dalam Dia sesuai bimbingan Roh Kudus, kita memuliakan kekudusan Allah yang menghadirkan tanda-tanda kerajaan-Nya. Dalam doa “Bapa Kami”, umat Kristiani belajar ambil bagian dalam pengalaman spiritual Kristus dan memandang segalanya dengan mata-Nya. Kristus, Terang dari terang, memperkenalkan Bapa pada kita agar kita mampu menyinari sesama untuk membangun persahabatan yang mesra dengan-Nya (cf.Lumen Fidei no.46).

Mgr Petrus Turang, Uskup Agung Kupang
HIDUPKATOLIK.com - Minggu Biasa XVII; Kej 18:20-33; Mzm 138; Kol 2:12-14; Luk 11:1-13

Manusia Tak Diselamatkan oleh Rumusan

Dewasa ini, umat beriman berjuang membangun ketahanan dan keamanan hidup. Dalam perhitungan manusiawi, perjuangan ini kerap menemui jalan buntu. Di situlah manusia berupaya membangun relasi dengan yang dapat memberikan jalan keluar. Mereka sering bertindak di luar kewajaran dan kewarasan, asalkan kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Manusia mencari peluang rasa aman dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, baik rohani maupun jasmani.

Maka, umat beriman diajak berdoa. Kini, muncul banyak kelompok “persekutuan doa”. Demi memenuhi rasa senang, orang berbondong-bondong menghadirinya, karena ingin mengalami sesuatu di luar pengalaman biasa: doa kesembuhan, keberhasilan, perjodohan, karismatik, doa hujan dan panas, kerahiman ilahi, novena, dll. Semua itu menunjukkan “kekurangan” manusiawi dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar, utamanya yang bercorak kodrati. Itulah usaha memelihara anugerah kehidupan.

Kita hargai gerakan persekutuan doa. Harapannya, umat tak terpenjara dalam dirinya, tapi menemukan kerinduannya relasi sejatinya dengan Allah, sumber hidup. Pertanyaannya, apakah doa kita terpusat pada kepentingan diri atau pada hasrat membangun relasi dengan Allah?

Dalam Lukas 11:1-13, para murid melihat Yesus tenggelam dalam dialog mendalam, mesra dan berkanjang dengan Allah. Mereka tak berani bertanya tentang rahasia doa-Nya. Yesus membangkitkan kebutuhan dalam diri mereka untuk menyesuaikan doa mereka dengan doa-Nya. Mereka minta, Yesus mengajarinya berdoa. Yesus pun menegaskan: Bila kamu berdoa, katakan “Bapa”. Tempatkanlah dirimu dalam hubungan seorang anak dengan Allah yang adalah Bapa (cf. Yoh 20:17, Ef 4:6).

Doa Kristiani ialah berdoa seperti Kristus dan dalam Dia, karena Dia, “yang sulung dari banyak saudara” (Rom 8:29); kita bersekutu dalam doa-Nya pada Bapa. Yesus ingin memasukkan para murid, dan juga kita, dalam hubungan dialogis dengan Bapa.

Doa Yesus mengambil dua gerakan yang terungkap dalam dua permintaan: “dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu”. Keduanya menunjukkan Allahlah pelakunya. Allah yang “menguduskan nama-Nya” (cf. Yeh 36:23), dengan mewahyukan kepenuhan jati diri-Nya yang kudus. Yesus berdoa agar Allah menghadirkan kepenuhan kerajaan-Nya. Penyerahan diri dan kemampuan menerima keselamatan sebagai pemberian Allah yang murah hati menjadi hal utama dalam doa Yesus dan doa Kristiani.

Menurut Lukas, doa Yesus, “Bapa Kami”, terdapat tiga permohonan kebutuhan dari murid. Pertama, roti yang cukup dan tak berlebihan. Roti yang tidak mencobai kita untuk menimbun banyak, tidak menghalangi peziarahan kemuridan kita. Kedua, ampunan; hanya dengan mengampuni, kita menerima ampunan; hanya kesadaran sebagai pendosa yang diampuni, menjadikan kita pantas melakukan karya rekonsiliasi nyata. Ketiga, kebebasan dari bahaya tak setia, yang mengungkapkan kepekaan nurani kita, selalu peka dan awas akan bahaya. Hal itu juga dialami Yesus di Getzemani, yang mendorong para murid berdoa, “Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan” (Luk 22:46).

Yesus menjelaskan pengajaran-Nya dengan dua perumpamaan: relasi dua sahabat dan bapa-anak. Hal ini memberi pedoman para murid akan Bapa yang murah hati dengan kasih tak terbatas dan selalu menerima doa mereka. Simpulnya ialah janji pemberian Roh Kudus, yang memampukan kita setia dan menyapa Allah sebagai Abba, ambil bagian sebagai anak Allah seperti Yesus.

Rumusan “Bapa Kami” yang diajarkan Yesus ialah model dasar doa Kristiani. Kita mendoakannya dengan kesadaran penuh sebagai anak yang memasrahkan hidup pada penyelenggaraan Bapa. Doa kita akan terwujud sesuai pengajaran Yesus, sejauh hidup kita mengikuti bimbingan Roh Kudus. Demikianlah doa “Bapa Kami” tak hanya rumusan beku yang didaraskan berulang-ulang, tapi suatu program, kesadaran, kemesraan, kegembiraan hidup iman kita, dalam relasi dengan Allah.

Dengan meneladan cara Kristus berdoa dan berdoa dalam Dia sesuai bimbingan Roh Kudus, kita memuliakan kekudusan Allah yang menghadirkan tanda-tanda kerajaan-Nya. Dalam doa “Bapa Kami”, umat Kristiani belajar ambil bagian dalam pengalaman spiritual Kristus dan memandang segalanya dengan mata-Nya. Kristus, Terang dari terang, memperkenalkan Bapa pada kita agar kita mampu menyinari sesama untuk membangun persahabatan yang mesra dengan-Nya (cf.Lumen Fidei no.46).

Mgr Petrus Turang
Uskup Agung Kupang
- See more at: http://www.hidupkatolik.com/2013/07/27/renungan-minggu-2872013-mgr-petrus-turang#sthash.2U7Mh8hX.dpuf

Renungan Minggu 28/7/2013: Mgr Petrus Turang

- See more at: http://www.hidupkatolik.com/2013/07/27/renungan-minggu-2872013-mgr-petrus-turang#sthash.2U7Mh8hX.dpuf

Renungan Minggu 28/7/2013: Mgr Petrus Turang

- See more at: http://www.hidupkatolik.com/2013/07/27/renungan-minggu-2872013-mgr-petrus-turang#sthash.2U7Mh8hX.dpuf

Renungan Minggu 28/7/2013: Mgr Petrus Turang

- See more at: http://www.hidupkatolik.com/2013/07/27/renungan-minggu-2872013-mgr-petrus-turang#sthash.2U7Mh8hX.dpuf