Kamis, 23 Februari 2012

Mengapa ada Rabu Abu?

Misa pukul 18.00 WIB di Gereja Stella Maris Siantan, Pontianak sore itu beda sekali dengan biasanya. Kalau hari biasa misa sore itu gereja tidak penuh. Kali ini beda. Di tengah hujan rintik-rintik, tidak kurang 800 umat memenuhi dalam, depan, dan di luar gereja. Meski angin membawa bintik hujan membuat badan menggigil, namun umat antusias mengikuti misa. Hari itu adalah hari Rabu Abu; hari permulaanmasa pantang dan puasa bagi orang Katolik selama 40 hari.


Kita, umat Paroki Stella Maris patut bersyukur, kesadaran umat untuk memperbaiki diri dalam masa prapaskah 2012 ini ternyata cukup tinggi. Hal ini dilihat dari banyaknya umat yang mengikuti misa hari Rabu Abu tersebut. Padalah pagi pukul 05.30 sudahjuga diaakan misa penerimaan abu. 

Mungkin cukup banyak diantara kita yang belum mengetahui apa, mengapa ada Rabu Abu. 

Imam sedang menerimakan abu pada Rabu Abu (foto: internet)


Romo Sanders dari Our Lady of Hope Parish di Potomac Falls yang juga seorang professor kateketik dan teologi Universitas Notre Dame menjelaskan sbb. Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari jaman Perjanjian Lama. Abu melambangkan perkabungan, ketidakabadian, dan sesal/tobat. Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja berniat membunuh semua orang Yahudi (Est 4: 1). Ayub menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42: 6).

Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu (Dan 9: 3). Sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu, "Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu." (Mat 11: 21, Edisi Pastoral Katolik).

Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya "De Poenitentia", Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah "hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu." Eusebius (260-340), sejarahwan Gereja perdana menceritakan dalam bukunya "Sejarah Gereja" bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga bagi umat yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan.

Akhirnya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) menyambut Paskah. Ritual perayaan "Rabu Abu" ditemukan dalam edisi awal Gregorian Sacramentary, diterbitkan sekitar abad kedelapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric menyampaikan khotbahnya: "Kita membaca dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah dengan menaburkan abu di kepala sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita." Setidak-tidaknya sejak abad pertengahan, Gereja telah mempergunakan abu untuk menandai permulaan masa tobat Prapaskah, kita ingat akan ketidakabadian kita dan menyesali dosa-dosa kita.

Dalam perayaan Rabu Abu, digunakan abu yang berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada tahun sebelumnya. Imam memberkati abu dan mengenakannya pada dahi umat dengan membuat tanda salib. Patutlah diingat makna abu yang telah diterima: Menyesali dosa dan melakukan silih bagi dosa-dosa, mengarahkan hati kepada Kristus, yang sengsara, wafat dan bangkit demi keselamatan manusia. Memperbaharui janji-janji yang diucapkan dalam pembaptisan, yaitu ketika manusia mati atas hidup yang lama dan bangkit kembali dalam hidup baru bersama Kristus. Dan terakhir, menyadari bahwa kerajaan dunia ini segera berlalu, manusia perlu berjuang untuk hidup dalam kerajaan Allah sekarang ini serta merindukan kepenuhannya di surga kelak. Manusia patut mempersilakan Roh Kudus untuk menggerakkan karya dan amal belas kasihan terhadap sesama, kepada mereka yang berkekurangan, menjadi bagian dari silih, tobat, dan pembaharuan hidup.

Sumber: http://www.parokimbk.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar