Permenungan
selama Minggu I Bulan Kitab Suci
Minggu kedua dalam bulan Kitab Suci ini, kita diajak
untuk merenungkan tentang IBADAH KELUARGA SEBAGAI SEKOLAH IMAN. Teks Kitab Suci yang akan kita renungkan
yakni Ul. 6:20-25. Berikut ini beberapa pokok untk membedah teks ini.
1. Pendidikan Anak dalam Agama Yahudi
Salah satu konteks Ul. 6:20-25 yakni
Pendidikan Anak dalam Agama Yahudi. Orang-orang Yahudi sangat menekankan
pendidikan anak. Dasar Alkitabiah dari pendidikan ini yakni, Perintah Allah, “Hormatilah
Ibu dan Bapamu” dan juga Musa yang meminta kepada para orang tua untuk mengajarkan
Kasih di rumah (Ul. 6:6-9). Sejak dini orang tua Yahudi telah menanamkan
nilai-nilai agama kepada anak. Sebelum anak dapat berbicara, orang tua telah
memperkenalkan mereka pada mezuzah yang
berarti pintu rumah. Di rumah orang Yahudi tertempel kotak kecil, mezuzot yang berisi kutipan Ul. :6:4-9.
Sang ayah bertugas untuk mengajarkan taurat dan kitab para nabi untuk anaknya.
Kalau ia tidak mampu, ia dapat menyewa seorang rabi. Orang tua atau rabi mesti
mendidik secara serius. Di samping itu dituntut teladan hidup yang turut menegaskan
apa yang diajarkan. Sehingga pada umur 13 tahun, anak-anak Yahudi pantas
disebut sebagai “Anak Taurat”
2. Perjamuan Paskah
Pernyataan “anakmu bertanya kepadamu”
menggemakan kembali ritual paskah Yahudi (Kel. 12:26-27). Ada dua pokok acara
dalam Ritual Paskah Yahudi yakni makan roti tidak beragi (Matzoth) dan danging
domba mengenangn pembebasan dari Mesir. Di dalam perayaan itu ada bagian
tentang pengajaran iman bagi anak-anak Yahudi. Mereka dididik untuk memandang
Perjamuan Paskah sebagai pengenangan akan tindakan Pembebasan Israel dari Mesir
oleh Allah. Di sini tergambar dengan jelas bahwa Pendidikan iman dalam umat
Yahudi memiliki peran yang sentral.
3. Alasan Perjamuan Paskah
Ul. 6:20-25 merupakan alasan yang mesti
disampaikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. di dalam teks tersebut,
Musa mengingatkan orang tua untuk mengajarkan pada anak-anaknya tentang
peristiwa eksodus Israel dari Mesir. Dahulu mereka adalah budak bangsa Mesir
(ay. 21). Mereka diperlakukan secara tidak adil dan menderita. Allah memandang
ketidakadilan dan penderitaan bangsa Israel. Ia membebaskan mereka dengan
berbagai mukjizat (ay. 22). Ia menuntun mereka ke Kanaan, tanah yang
dijanjikan-Nya kepada leluhur bangsa Israel. Oleh karena itu mereka harus setia
pada Allah (ay. 24). Mereka diminta untuk taat pada ketetapan dan perintah
Allah. Mereka mesti beribadah kepada Allah. Bagi Musa tujuan pengajaran iman
tersebut yakni supaya hidup mereka berkenan Allah (ay. 25).
Teks Ul. 6:20-25 masih menjadi bagian
dari Ul. 6:1-25 yang membahas tentang perintah untuk mengasihi Allah. Bagi
Musa, segala tindakan Allah dalam rangakaian pembebasan Israel dari Mesir
sampai masuknya Israel ke Kanaan merupakan ungkapan kasih-Nya. Maka Musa
memerintahkan bangsa Israel untuk mengasihi Allah secara total; segenap hati,
jiwa dan kekuatan (ay. 5). Musa menghendaki agar kasih Allah menjadi pokok
pegajaran iman iman. Keluarga-keluarga Israel mesti berbicara tentang kasih
Allah secara secara kontinu (ay. 7). Musa bahkan menyatakan bahwa perintah kasih
Allah ditulis pada pintu rumah dan pintu gerbang jubga diikat pada tangan,
ditempel pada dahi (ay. 8) Hal-hal tersebut mengindikasikan bahwa seluruh hidup
bangsa Israel ungkapan dari kasih pada Allah. Di dalamnya, pendidikan iman pada
anak dilaksanakan sebagai tindakan konkret dari kasih mereka kepada Allah.
Pokok iman yang diajarkan orang tua bukan saja merupakan tanggung jawabnya,
tapi penghayatan kasih personal mereka pada Allah.
4. Keluarga Sebagai Sekolah Iman
Yang kita
bisa pelajari dari bangsa Israel yakni Keluarga
adalah sekolah iman. Di dalam keluarga terjadi proses pendidikan iman.
Pendidikan iman mesti berdasarkan kehidupan konkret. Yang dibahas bukan semata
doa dan ajaran Gereja, Kitab Suci tapi juga refleksi iman dari pengalaman
harian. Di dalamnya, keluaga belajar menyadari dan merasakan karya Allah dalam
sekolah dan pekerjaan atau kegiatan lainnya. Karya Allah itu ditemukan juga
dalam diri orang lain dan diri sendiri.
Dari Refleksi itu, setiap anggota keluarga belajar untuk bersyukur, memperbaiki
kesalahan, melaksanakan niat-niat baik. Sehingga iman menyatu dengan hidup
konkret. Semangat dari proses pendidikan iman di dalam keluarga adalah KASIH.
Orang tua mendidik anaknya mesti didorong oleh KASIH. Yang diajarkan mesti
KASIH. Yang ditemukan dari pengalaman konkret juga mesti KASIH.
Frater A'iz, MSC