KEBIJAKAN PASTORAL KAP :
PERAYAAN TAHUN BARU IMLEK PADA HARI JUMAT PANTANG MASA PRAPASKAH,
TANGGAL 16 FEBRUARI 2018
Kebijakan Pastoral KAP ini dibuat
untuk menanggapi berbagai pertanyaan tentang Tahun Baru Imlek yang tahun ini
jatuh pada hari Jumat Pantang dalam masa Prapaskah tahun 2018.
Kata “Imlek” berasal dari dialek
bahasa Hokkian yang berasal dari kata Yin Li, yang berarti “Penanggalan bulan”
atau lunar calendar.
Perayaan “Imlek” sebenarnya
adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut dengan Chun Jie. Musim dingin
yang membuat aktivitas manusia seakan-akan berhenti segera berlalu dan tibalah
musim semi dimana para petani mulai dapat menanam kembali. Seperti pada
masyarakat tradisional lainnya yang mengandalkan alam untuk kehidupan mereka,
maka datangnya musim semi yang menandai munculnya harapan baru merupakan
peristiwa yang wajib dirayakan.
Orang Katolik Boleh Merayakan
Imlek:
Permasalahan Misa Imlek harus
dilihat dalam kerangka hubungan antara iman dan budaya. Iman selalu, membutuhkan
budaya, baik dalam penghayatan maupun dalam pewartaan. Iman tak pernah melayang
di udara tanpa bungkus budaya (GS 53). Iman kristiani tidak terikat pada satu
budaya tertentu, tetapi bisa diungkapkan dalam sebuah budaya. Dalam arti
itulah, iman kristiani bersifat Katolik (Yun: catholicos berarti umum).
Agar penghayatan iman bisa sungguh mendalam dan pewartaan iman dapat sungguh
menarik dan dimengerti, maka iman perlu dibungkus dengan budaya yang sesuai (GS
58). (bdk. Romo Dr. Petrus Maria Handoko, CM. 2014. Bolehkah Merayakan Misa
Imlek. Jakarta: Hidup.(25 Januari 2014).
Dasar teologis hubungan antara
iman dan budaya yang sedemikian itu ialah peristiwa Inkarnasi Sang Sabda. Sang
Sabda menjadi manusia dalam budaya Yahudi dan mengungkapkan penghayatan
iman-Nya melalui bungkus budaya Yahudi. Inilah ajaran resmi Megisterium Gereja.
Pasti setiap Uskup Katolik mengikuti ajaran ini. (bdk. Romo Dr. Petrus Maria
Handoko, CM. 2014. Bolehkah Merayakan Misa Imlek. Jakarta: Hidup.(26
Januari 2014).
Secara kongkret, penggunaan warna
liturgi merah, hio, pai-pai, membagi buah, membagi angpau, barongsai, dan yang
lain haruslah selalu pemaknaan kembali secara Katolik. Penggunaan ungkapan
budaya ini juga harus menjaga kesakralan liturgi yang ada. Lebih tepat jika
barongsai tidak dilakukan didalam liturgi dan tidak didalam gereja. Pemberkatan
buah jeruk dan angpau bisa dilakukan setelah komuni dan kemudian dibagikan
sesudah Misa.(bdk. Rm. Samuel Pangestu, Pr. 2018. Kebijakan Pastoral KAJ:
Perayaan Tahun Baru Imlek Pada Hari Jumat Pantang Masa Prapaskah, Tanggal 16
Februari 2018).
Beberapa tradisi untuk menyambut
Tahun Baru Imlek:
Tradisi Bunga Mei Hua;
Di negara Tiongkok dikenal 4
Musim, Yaitu Musim Semi, Musim Panas, Musim Gugur dan Musim Dingin. Tahun Baru Imlek
datang bersamaan dengan Musim Semi, maka dulu dikenal dengan istilah Festifal
Musim Semi. Bunga Mei Hwa adalah pertanda datangnya Musim Semi, itulah sebabnya
terdapat tradisi di masyarakat Tionghoa, menggunakan bunga ini sebagai hiasan
di rumah ketika Imlek tiba, sehingga terkesan suasana yang sejuk, nyaman dan
indah. Tidak ada makna spiritual dalam kehadiran bunga Mei Hua tersebut.
Ucapan Selamat;
Di hari raya
Tahun Baru Imlek, gantungan maupun tempelan tulisan-tulisan ucapan selamat
mungkin merupakan suatu kewajiban dan yang terpenting dalam merayakan hari raya
imlek, karena tulisan-tulisan tersebut adalah pernak-pernik yang paling sering
ditemukan. Tulisan selamat tersebut menandakan doa dan harapan warga Tionghoa,
baik bagi dirinya sendiri maupun doa dan harapan untuk keluarga dan
sahabat-sahabatnya. Tulisan Imlek biasanya dalam bentuk bahasa mandarin dengan
huruf berwarna Emas dan Hitam, sedangkan warna dasarnya adalah warna merah.
Tulisan ucapan
selamat yang popular bagi warga Tionghoa adalah “Gong Xi Fa Cai”, yang artinya
selamat mendapatkan Rezeki. Selain itu terdapat juga tulisan harapan dan ucapan
selamat seperti “Sheng Yi Xing Long”, Wan Shi Ru Yi, dan masih banyak lagi.
Tulisan Fu”;
adalah tulisan Mandarin yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah
Bahagia. Tulisan Fu menandakan harapan untuk hidup bahagia di Tahun yang baru
ini. Ada juga yan g menempelkan Huruf “Fu” secara terbalik. Sebutan Mandarin,
Terbalik adalah Dao, Dao ini memiliki nada yang sama dengan Dao yang artinya
adalah tiba. Dengan Tulisan Fu yang terbalik, warga Tionghoa mengharapkan
tibanya kebahagian di Tahun Baru ini.
Tulisan “Chun”;
Chun adalah tulisan Mandarin yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
adalah Musim Semi. Musim Semi adalah Musim terbaik diantara 4 Musim yang ada,
sehingga bunga bermekaran dengan cantik, pemandangan terindah di musim semi.
Dimusim semi semua aktivitas menjadi normal kembali, petani mulai bercocok
tanam sehingga berharap untuk mendapatkan panen yang lebih baik. Tahun Baru
Imlek juga disebut sebagai Festifal Musim Semi atau Ghun Jie.
Sepasang Puisi
(Dui Lian); yang artinya Puisi Musim Semi adalah tulisan-tulisan puisi yang
penuh kebahagian dan biasanya ditempelkan di sisi kanan dan kiri pintu. Sama
halnya dengan tulisan-tulisan ucapan selamat, Dui Lian merupakan harapan dan
doa warga Tionghoa untuk masa depan dan kehidupan yang lebih baik di tahun yang
datang. Selain itu, juga menandakan suka cita warga Tionghoa dalam merayakan
Hari Raya Tahun Baru Imlek.
Gambar
Ikan;
Pasti ada yang
bertanya, apapula kaitan ikan dengan Hari Raya Imlek. Mengapa setiap merayakan
Hari Raya Imlek pasti ada gambar Ikan sebagai pernak-pernik Imek.
Ikan merupakan
makanan favorit warga Tionghoa, namun Ikan juga merupakan lambang keberuntungan
dalam tradisi Tionghoa. Kata Ikan dalam bahasa mandarin adalah “Yu”, kata
tersebut memiliki nada yang sama dengan Yu yang artinya adalah lebih. Setiap
warga Tionghoa mengharapkan Rezeki yang berlebihan, hidup yang lebih sehat dan
bahagia serta usaha yang lebih lancar.
Mercon/Petasan
“Bian Pao”;
Menurut
kepercayaan warga Tionghoa, Mercon atau Petasan yang memiliki suara ledakan ini
dapat mengusir makhluk halus dan juga berbagai ketidakberuntungan, sehingga di
tahun yang akan datang penuh dengan keberuntungan serta kebahagian. Mercon atau
Petasan ini pada mulanya digunakan untuk mengusir Hewan Buas yang memakan
manusia yaitu Hewan Nian(Nian Shou).
Barongsai dan
Singa;
Barongsai adalah
tarian Tradisional Tionghoa dengan menggunakan Sarung yang menyerupai Singa.
Singa yang merupakan raja hewan ini melambangkan kegagahan, keberanian dan
keberuntungan. Singa juga dipercayai dapat mengusir segala ketidakberuntungan
serta mengusir mahluk-mahluk halus yang mengganggu kehidupan manusia. Oleh
karena itu, Tahun Baru Imlek sering dimeriahkan dengan adanya tarian Barongsai
yang bermaksud untuk mengusir segala ketidakberuntungan sehingga Tahun yang
baru ini dapat hidup dengan lancar dan bahagia. Barongsai dalam bahasa Mandarin
disebut dengan “Wu Shi”.
Selain
Barongsai, singa juga sering ditempel di dinding dalam bentuk Stiker besar dan
juga patung-patung miniatur Singa yang dijadikan sebagai pajangan di lemari dan
meja.
Lampion/Lentera
Merah;
Dalam mata
Masyarakat Tionghoa, Lampion atau Lentera Merah memiliki arti kebersamaan,
persatuan, bisnis yang lancer dan sukses, keberuntungan, semangat, kebahagiaan
dan yang terpenting adalah penerangan hidup. Oleh karena itu, kita sering
melihat Lampion atau Lentera merah yang digantungkan di hampir setiap rumah
warga Tionghoa yang merayakan Hari Raya Imlek. Selain rumah, di Jalan Raya,
pusat perbelanjaan maupun restoran juga sering ditemukan Lampion atau Lentera
Merah ini.
Gambar 12 Shio;
Gambar 12 Shio
juga merupakan salah satu pernak-pernik yang terpenting dalam merayakan Tahun
Baru Imlek. Shio adalah symbol hewan yang digunakan untuk melambangkan Tahun
dalam Astrologi Tionghoa sesuai dengan kalender Imlek. Setiap Tahun diwakili
oleh satu shio. Shio dalam Tradisi Tionghoa berjumlah 12 (Duabelas) sehingga
siklus shio juga 12 tahun. Biasanya Tahun Baru Imlek juga menandakan pergantian
Shio sehingga Shio di tahun sebelumnya akan ditinggalkan dan menyambut
kedatangan Shio yang baru. Oleh karena itu, masyarakat Tionghoa menghiasi
rumahnya dengan pernak-pernik Shio Tahun Baru dengan harapan Shio baru tersebut
dapat memberikan keberuntungan dan kebahagiaan bagi mereka. Tahun 2018 adalah
tahun shio Anjing.
Jeruk;
Mungkin banyak akan
bertanya, apa kaitan dengan Jeruk dengan Hari Raya Imlek. Jeruk dalam bahasa
mandarin adalah Ju. Ju memiliki nada yang hampir sama dengan Ji. Tulisan
mandarinnya Ju juga sangat mirip dengan Ji. Ji artinya keberuntungan sehingga
dengan adanya Jeruk berarti kita bisa mendapatkan keberuntungan sepanjang
tahun.
Nenas;
Gantungan Nenas
di Tahun Baru Imlek, mayoritas terdapat di daerah Tiongkok Selatan hingga Asia
Tenggara, yaitu daerah dengan bahasa lokal Hokkian atau Tiociu, termasuk
Taiwan, Hongkong, dan Asia Tenggara. Karena dalam bahasa lokal Hokkian dan
Tiociu, nenas disebut “wang lai”, kata “wang” dalam ke dua bahasa local
mempunyai arti “jaya” (bukan diartikan “uang” dalam bahasa Indonesia, seperti
banyak orang Tionghoa Indonesia mengartikannya), sedangkan kata “lai” berarti
“datang”. Maka dengan menggantungkan/memajang nenas di lingkungan rumah pada
saat Tahun Baru Imlek, orang mengharapkan Tahun Baru ini juga akan mendatangkan
kejayaan bagi keluarga tersebut.
Angpao;
Mungkin semua
kita sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Saat ini, pemberian Angpau
tidak hanya dilakukan saat merayakan Imlek, tapi Angpau juga dapat ditemukan
dalam berbagai kegiatan yang sifatnya bahagia dan sukacita seperti memberikan
angpau saat ulang tahun dan menikah. Memberikan Angpau kepada Generasi yang
lebih muda seperti
anak-anak kecil
dan muda-mudi yang belum menikah dalam Tahun Baru Imlek adalah sebagai harapan
atau ucapan selamat dari si pemberi Angpau kepada si penerima Angpau. Saat
memberikan Angpau, si pemberi Angpau biasanya akan mengucapkan berbagai ucapan
selamat dan harapannya kepada penerima Angpau. Contohnya seperti
Semoga anda
mencapai kemajuan dalam belajar, semoga anda sehat selalu, semoga karir anda
semakin baik dan lain sebagainya.
Nilai – nilai
yang dapat kita petik dalam Perayaan Imlek.
Gereja Katolik
mengahargai makna dari peristiwa budaya Imlek yang masih dihayati oleh sebagian
orang Tionghoa yang beragama Katolik. Ada beberapa nilai yang dapat kita maknai
kembali sebagai orang beriman Katolik dari budaya merayakan Imlek:
1. Perayaan Imlek
adalah perayaan kehidupan yang pasti menghargai dan menghormati Tuhan Sang
Pencipta (taqwa), manusia dan alam ciptaanNya.
2. Perayaan
Imlek merupakan perayaan pendamaian (rekonsiliasi dan harmoni) antara manusia
dengan Allah, manusia dengan sesama dan manusia dengan alam ciptaanNya.
3. Perayaan
Imlek merupakan sarana perwujudan adat istiadat yang menjadikan manusia sebagai
Jen (manusia bijak).
4. Perayaan
Imlek adalah perayaan Syukur bersama keluarga dan komunitas serta masyarakat.
5. Perayaan Imlek
adalah perayaan persaudaraan yang diwujudkan dengan berbela rasa dan berbagi
kepada sesama manusia yang miskin dan menderita.
Usulan kebijakan
Pastoral Perayaan Imlek 2018.
Berhubung
perayaan Imlek tahun 2018 bertepatan dengan hari Jumat dimana Umat Katolik
wajib berpantang dari daging dan pantang pilihan pribadi, maka sebagai Uskup
Keuskupan Agung Pontianak, saya memberikan dispensasi dari kedua jenis pantang
ini bagi sesama umat Katolik di Keuskupan Agung Pontianak. Pantang tersebut
dapat dipindahkan ke hari lain.
Keuskupan Agung
Pontianak mengharapkan umat Allah yang merayakan tahun baru Imlek
mempertimbangkan dialog dengan budaya Tionghoa. Semoga kita semakin dewasa
dalam mempertimbangkan dan memilah mana yang bermakna, baik dari ajaran gereja
Katolik tentang pantang dan puasa dimasa prapaskah, maupun dari budaya dan
tradisi Tionghoa. Oleh karena itu Keuskupan Agung Pontianak menawarkan
kebijakan sebagai berikut: “Umat Allah dapat merayakan Misa Syukur Tahun Baru
Imlek pada hari Jumat tgl 16 Februari 2018, dengan penuh sukacita dan berbela
rasa serta berbagi rejeki dengan orang miskin, menderita dan tersisih serta
berkebutuhan khusus. Ibadat jalan salib baik secara pribadi maupun
kelompok/paroki pada tanggal 16 Februari 2018 dapat dipindahkan ke hari lain.
Demikianlah
kebijakan Pastoral Keuskupan Agung Pontianak tentang perayaan Imlek pada
umumnya dan tahun 2018 pada khususnya yang bertepatan dengan hari Jumat 16
Februari sesudah hari Rabu Abu (pantang). Semoga umat Allah Keuskupan Agung
Pontianak semakin tangguh dalam Iman terlibat dalam persaudaraan dan berbela
rasa terhadap sesama dan lingkungan hidupnya. Amin.
“Salam persatuan
dalam kebhinekaan”
Pontianak, 7
Februari 2018
Mgr. Agustinus
Agus
Uskup Agung Pontianak