Minggu Biasa XVII; Kej 18:20-33; Mzm
138; Kol 2:12-14; Luk 11:1-13
Dewasa ini, umat beriman berjuang
membangun ketahanan dan keamanan hidup. Dalam perhitungan manusiawi, perjuangan
ini kerap menemui jalan buntu. Di situlah manusia berupaya membangun relasi
dengan yang dapat memberikan jalan keluar. Mereka sering bertindak di luar
kewajaran dan kewarasan, asalkan kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Manusia
mencari peluang rasa aman dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, baik rohani
maupun jasmani.
Maka, umat beriman diajak berdoa.
Kini, muncul banyak kelompok “persekutuan doa”. Demi memenuhi rasa senang,
orang berbondong-bondong menghadirinya, karena ingin mengalami sesuatu di luar
pengalaman biasa: doa kesembuhan, keberhasilan, perjodohan, karismatik, doa
hujan dan panas, kerahiman ilahi, novena, dll. Semua itu menunjukkan
“kekurangan” manusiawi dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar, utamanya yang
bercorak kodrati. Itulah usaha memelihara anugerah kehidupan.
Kita hargai gerakan persekutuan doa.
Harapannya, umat tak terpenjara dalam dirinya, tapi menemukan kerinduannya
relasi sejatinya dengan Allah, sumber hidup. Pertanyaannya, apakah doa kita
terpusat pada kepentingan diri atau pada hasrat membangun relasi dengan Allah?
Dalam Lukas 11:1-13, para murid
melihat Yesus tenggelam dalam dialog mendalam, mesra dan berkanjang dengan
Allah. Mereka tak berani bertanya tentang rahasia doa-Nya. Yesus membangkitkan
kebutuhan dalam diri mereka untuk menyesuaikan doa mereka dengan doa-Nya.
Mereka minta, Yesus mengajarinya berdoa. Yesus pun menegaskan: Bila kamu
berdoa, katakan “Bapa”. Tempatkanlah dirimu dalam hubungan seorang anak dengan
Allah yang adalah Bapa (cf. Yoh 20:17, Ef 4:6).
Doa Kristiani ialah berdoa seperti
Kristus dan dalam Dia, karena Dia, “yang sulung dari banyak saudara” (Rom
8:29); kita bersekutu dalam doa-Nya pada Bapa. Yesus ingin memasukkan para
murid, dan juga kita, dalam hubungan dialogis dengan Bapa.
Doa Yesus mengambil dua gerakan yang
terungkap dalam dua permintaan: “dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu”.
Keduanya menunjukkan Allahlah pelakunya. Allah yang “menguduskan nama-Nya” (cf.
Yeh 36:23), dengan mewahyukan kepenuhan jati diri-Nya yang kudus. Yesus berdoa
agar Allah menghadirkan kepenuhan kerajaan-Nya. Penyerahan diri dan kemampuan
menerima keselamatan sebagai pemberian Allah yang murah hati menjadi hal utama
dalam doa Yesus dan doa Kristiani.
Menurut Lukas, doa Yesus, “Bapa
Kami”, terdapat tiga permohonan kebutuhan dari murid. Pertama, roti yang
cukup dan tak berlebihan. Roti yang tidak mencobai kita untuk menimbun banyak,
tidak menghalangi peziarahan kemuridan kita. Kedua, ampunan; hanya
dengan mengampuni, kita menerima ampunan; hanya kesadaran sebagai pendosa yang
diampuni, menjadikan kita pantas melakukan karya rekonsiliasi nyata. Ketiga,
kebebasan dari bahaya tak setia, yang mengungkapkan kepekaan nurani kita,
selalu peka dan awas akan bahaya. Hal itu juga dialami Yesus di Getzemani, yang
mendorong para murid berdoa, “Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan” (Luk
22:46).
Yesus menjelaskan pengajaran-Nya
dengan dua perumpamaan: relasi dua sahabat dan bapa-anak. Hal ini memberi
pedoman para murid akan Bapa yang murah hati dengan kasih tak terbatas dan
selalu menerima doa mereka. Simpulnya ialah janji pemberian Roh Kudus, yang
memampukan kita setia dan menyapa Allah sebagai Abba, ambil bagian sebagai anak
Allah seperti Yesus.
Rumusan “Bapa Kami” yang diajarkan
Yesus ialah model dasar doa Kristiani. Kita mendoakannya dengan kesadaran penuh
sebagai anak yang memasrahkan hidup pada penyelenggaraan Bapa. Doa kita akan
terwujud sesuai pengajaran Yesus, sejauh hidup kita mengikuti bimbingan Roh
Kudus. Demikianlah doa “Bapa Kami” tak hanya rumusan beku yang didaraskan
berulang-ulang, tapi suatu program, kesadaran, kemesraan, kegembiraan hidup
iman kita, dalam relasi dengan Allah.
Dengan meneladan cara Kristus berdoa
dan berdoa dalam Dia sesuai bimbingan Roh Kudus, kita memuliakan kekudusan
Allah yang menghadirkan tanda-tanda kerajaan-Nya. Dalam doa “Bapa Kami”, umat
Kristiani belajar ambil bagian dalam pengalaman spiritual Kristus dan memandang
segalanya dengan mata-Nya. Kristus, Terang dari terang, memperkenalkan Bapa
pada kita agar kita mampu menyinari sesama untuk membangun persahabatan yang
mesra dengan-Nya (cf.Lumen Fidei no.46).
Mgr Petrus Turang, Uskup Agung Kupang
HIDUPKATOLIK.com - Minggu Biasa XVII; Kej 18:20-33; Mzm 138; Kol 2:12-14; Luk 11:1-13
Manusia Tak Diselamatkan oleh Rumusan
Dewasa
ini, umat beriman berjuang membangun ketahanan dan keamanan hidup.
Dalam perhitungan manusiawi, perjuangan ini kerap menemui jalan buntu.
Di situlah manusia berupaya membangun relasi dengan yang dapat
memberikan jalan keluar. Mereka sering bertindak di luar kewajaran dan
kewarasan, asalkan kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Manusia mencari
peluang rasa aman dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, baik rohani maupun
jasmani.
Maka, umat beriman diajak berdoa.
Kini, muncul banyak kelompok “persekutuan doa”. Demi memenuhi rasa
senang, orang berbondong-bondong menghadirinya, karena ingin mengalami
sesuatu di luar pengalaman biasa: doa kesembuhan, keberhasilan,
perjodohan, karismatik, doa hujan dan panas, kerahiman ilahi, novena,
dll. Semua itu menunjukkan “kekurangan” manusiawi dalam upaya memenuhi
kebutuhan dasar, utamanya yang bercorak kodrati. Itulah usaha memelihara
anugerah kehidupan.
Kita hargai gerakan
persekutuan doa. Harapannya, umat tak terpenjara dalam dirinya, tapi
menemukan kerinduannya relasi sejatinya dengan Allah, sumber hidup.
Pertanyaannya, apakah doa kita terpusat pada kepentingan diri atau pada
hasrat membangun relasi dengan Allah?
Dalam
Lukas 11:1-13, para murid melihat Yesus tenggelam dalam dialog mendalam,
mesra dan berkanjang dengan Allah. Mereka tak berani bertanya tentang
rahasia doa-Nya. Yesus membangkitkan kebutuhan dalam diri mereka untuk
menyesuaikan doa mereka dengan doa-Nya. Mereka minta, Yesus mengajarinya
berdoa. Yesus pun menegaskan: Bila kamu berdoa, katakan “Bapa”.
Tempatkanlah dirimu dalam hubungan seorang anak dengan Allah yang adalah
Bapa (cf. Yoh 20:17, Ef 4:6).
Doa
Kristiani ialah berdoa seperti Kristus dan dalam Dia, karena Dia, “yang
sulung dari banyak saudara” (Rom 8:29); kita bersekutu dalam doa-Nya
pada Bapa. Yesus ingin memasukkan para murid, dan juga kita, dalam
hubungan dialogis dengan Bapa.
Doa Yesus
mengambil dua gerakan yang terungkap dalam dua permintaan:
“dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu”. Keduanya menunjukkan
Allahlah pelakunya. Allah yang “menguduskan nama-Nya” (cf. Yeh
36:23), dengan mewahyukan kepenuhan jati diri-Nya yang kudus. Yesus
berdoa agar Allah menghadirkan kepenuhan kerajaan-Nya. Penyerahan diri
dan kemampuan menerima keselamatan sebagai pemberian Allah yang murah
hati menjadi hal utama dalam doa Yesus dan doa Kristiani.
Menurut Lukas, doa Yesus, “Bapa Kami”, terdapat tiga permohonan kebutuhan dari murid. Pertama,
roti yang cukup dan tak berlebihan. Roti yang tidak mencobai kita untuk
menimbun banyak, tidak menghalangi peziarahan kemuridan kita. Kedua,
ampunan; hanya dengan mengampuni, kita menerima ampunan; hanya
kesadaran sebagai pendosa yang diampuni, menjadikan kita pantas
melakukan karya rekonsiliasi nyata. Ketiga, kebebasan dari bahaya
tak setia, yang mengungkapkan kepekaan nurani kita, selalu peka dan
awas akan bahaya. Hal itu juga dialami Yesus di Getzemani, yang
mendorong para murid berdoa, “Jangan masukkan kami ke dalam pencobaan”
(Luk 22:46).
Yesus menjelaskan pengajaran-Nya
dengan dua perumpamaan: relasi dua sahabat dan bapa-anak. Hal ini
memberi pedoman para murid akan Bapa yang murah hati dengan kasih tak
terbatas dan selalu menerima doa mereka. Simpulnya ialah janji pemberian
Roh Kudus, yang memampukan kita setia dan menyapa Allah sebagai Abba,
ambil bagian sebagai anak Allah seperti Yesus.
Rumusan
“Bapa Kami” yang diajarkan Yesus ialah model dasar doa Kristiani. Kita
mendoakannya dengan kesadaran penuh sebagai anak yang memasrahkan hidup
pada penyelenggaraan Bapa. Doa kita akan terwujud sesuai pengajaran
Yesus, sejauh hidup kita mengikuti bimbingan Roh Kudus. Demikianlah doa
“Bapa Kami” tak hanya rumusan beku yang didaraskan berulang-ulang, tapi
suatu program, kesadaran, kemesraan, kegembiraan hidup iman kita, dalam
relasi dengan Allah.
Dengan meneladan cara
Kristus berdoa dan berdoa dalam Dia sesuai bimbingan Roh Kudus, kita
memuliakan kekudusan Allah yang menghadirkan tanda-tanda kerajaan-Nya.
Dalam doa “Bapa Kami”, umat Kristiani belajar ambil bagian dalam
pengalaman spiritual Kristus dan memandang segalanya dengan mata-Nya.
Kristus, Terang dari terang, memperkenalkan Bapa pada kita agar kita
mampu menyinari sesama untuk membangun persahabatan yang mesra
dengan-Nya (cf.Lumen Fidei no.46).
Mgr Petrus Turang
Uskup Agung Kupang